Selasa, 06 Juli 2010

KONSENSUS NASIONAL
PERKUMPULAN GASTROENTEROLOGI
INDONESIA
PANDUAN PENATALAKSANAAN
PERDARAHAN VARISES
PADA SIROSIS HATI

PERKUMPULAN GASTROENTEROLOGI
INDONESIA

Daftar Isi
1.Pendahuluan
2.Batasan
3.Perjalanan Penyakit Varises pada Sirosis
4.Penatalaksanaan Perdarahan Varises
5.Varises Lambung
6.Antibiotika
7.Daftar Rujukan

Tim Editor
Prof. Dr. Dr. Hernomo O. Kusumobroto, SpPD-KGEH
Dr. Pangestu Adi, SpPD-KGEH
Dr. Purnomo Budi Setiawan, SpPD-KGEH
Dr. Ummi Maimunah, SpPD,




Konsensus ini dibuat pada tanggal
11 Maret 2007 di Hotel JW Marriott Surabaya



PERHIMPUNAN DOKTER SEMINAT PENGURUS BESAB -PERKUMPULAN GASTROENTEROLOGI INDONESIA (P.GJ.(THE INDONESIAN SOCIETY OF GASTROENTEROLOGY)
Sekretariat:
Pusat Jnformasi Gastroenterologi & Nutrisi Ktinik Bagian llmu Fenyakil Dalam FKUI/RSUPN-CM Jakarta Ji. Diponegoro 71 Jakarta 10430 Teip.; 021 - 3148680 Fax 021 - 3148681 Email: gitipdui@cbn.net.kJ www.ina-gruc.Of.id

SURAT KEPUTUSAN NO. 01/SK/PB PGI/III/07


Mengingat : 1. Bahwa kasus perdarahan saluran cema baik saiuran cerna bagian atas maupun saluran cema bagian bawah merupakan keadaan yang sering ditemui pada praktik sehari-hari dan sering menimbulkan penyulit yang serius jika tidak diberikan penatalaksanaan secara cepat dan tepat. 2. Masih belum meratanya pengetahuan dan keterampilan para praktisi medis dalam penatalaksanaan pasien-pasien dengan perdarahan saluran cerna.
3. Periu disusun suatu pedoman atau konsensus penatalaksanaan perdarahan saluran cerna yang akan menjadi pedoman bagi para praktisi medis dalam penatalaksanaan pasien-pasien dengan perdarahan saluran cema baik saluran cema bagian atas maupun saluran cema bagian bawah.
Menimbang : Bahwa Pengurus Besar Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia telah menyusun Konsensus Nasional perdarahan saluran cema bagian atas dan saluran cema bagian bawah namun belum dibukukan dan disebariuaskan
Memutuskan Menunjuk Pengunjs Besar Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia
Cabang Surabaya (dibawah koordinasi Prof. Dr. dr. Hemomo O Kusumobroto, SpPD-KGEH) untuk membukukan Konsensus Nasional perdarahan saiuran cema bagian atas dan saluran cema bagian bawah yang telah disusun tersebut dan jika dipandang perlu dilakukan revisi sesuai dengan perkembangan Hmu pengetahuan dan teknologi kedokteran pada saat ini.
Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Bila dikemudian hari terdapat kekeliruan. Surat Keputusan ini dapat ditinjau kembali.




Konsensus Nasional
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia untuk
Penatalaksanaan Perdarahan Varises pada
Sirosis




1.0 Pendahuluan

Hipertensi portal merupakan kelainan hemodinamik, yang berhubungan dengan komplikasi sirosis yang paling berat, termasuk di antaranya asites, ensefalopati hepatik, dan perdarahan varises gastro-esofagus. Perdarahan varises merupakan keadaan darurat medik, yang sering diikuti dengan angka kematian sekitar 20 % dalam waktu 6 minggu. meskipun telah dicapai banyak kemajuan dalam penatalaksanaannya. 1

Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah kemajuan telah terjadi dalam penatalaksanaan perdarahan varises pada pasien sirosis, antara lain teknik endoskopik yang lebih baik dengan adanya endoskopi video secara luas, teknik ligasi varises, adanya obat-obat baru seperti somatostatin dan analog vasopresin, teknik operasi yang lebih baik, serta terakhir adanya transjugular intrahepatic portosystemic stent shunt (TIPSS).2

Evaluasi dalam penataan peralatan diagnosis dan disain untuk membuat panduan pengobatan pasien sirosis yang mengalami perdarahan varises, biasanya selalu sulit dibuat. Menyadari kondisi ini, dan untuk mengatasi masalah tersebut Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PG1) bekerja sama dengan Perhimpunan Peneliti Indonesia (PPHI) dan Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal Indonesia (PEGI), telah mengadakan pertemuan beberapa kali sejak pertemuan pertama di Bali tahun 2000, dengan harapan dapat membuat satu konsensus tentang batasan, dan beberapa masalah penting lain yang berkaitan dengan hipertensi portal dan perdarahan varises, dengan demikran dapat dipakai sebagai Buku Panduan Penatalaksanaan Perdarahan Varises secara lengkap.

Buku Panduan atau Pedoman tentang Penatalaksanaan Perdarahan Varises ini disusun oleh PGI, bekerja sama dengan PPHI dan PEGI. Pedoman ini diajukan pada bulan Maret 2007 dan telah dikoreksi serta disepakati oleh para anggota PGI-PPHI-PEGI. Pedoman ini dibuat sebagai panduan untuk mengatasi berbagai variasi perdarahan varises pada pasien sirosis hati.
Secara spesifik, pedoman ini memuat hal-hal tentang penatalaksanaan varises pada pasien sirosis dan tidak dirancang untuk membahas (1)


penatalaksanaan penyakit hati yanq mendasarinya; (2) penatalaksanaan perdarahan varises pada anak-anak; atau (3) perdarahan varises dengan etiologi lain.

2.0 Batasan
Istilah-istilah yang dipakai dalam konsensus perdarahan varises di sini penting dibuat batasannya terlebih dahulu. Berikut ini adalah batasan yang dipakai dalam konsensus ini.1-2-3

2.1 Perdarahan Varises
Batasan perdarahan varises yang dipakai dalam konsensus ini adalah perdarahan dari varises esofagus atau lambung yang ditemukan pada saat. dilakukan endoskopi, atau adanya varises esofagus besar dengan darah dalam lambung dan tidak ada penyebab perdarahan lain yang dapat dikenali.123
Suatu episode perdarahan secara klinis bermakna jika memerlukan transfusi sebanyak 2 unit darah atau lebih dalam waktu 24 jam dari waktu nol, disertai dengan tekanan darah sistolik kurang dari 100 mmHg, atau ada perubahan postural lebih dari 20 mmHg dan / atau frekuensi nadi lebih dari 100 kali per menit pada waktu nol (waktu nol adalah waktu pada saat pasien masuk rumah sakit untuk pertama kalinya).123

2.2 Episode Perdarahan Akut
Episode perdarahan akut dihitung dalam interval waktu 48 jam sejak waktu nol, tanpa bukti perdarahan yang bermakna secara klinis antara jam ke-24 dan -48. Bila terjadi perdarahan setelah 48 jam, dihitung sebagai episode perdarahan ulang pertama.123

2.3 Perdarahan Ulang Varises
Batasan untuk perdarahan ulang varises adalah terjadinya hematemesis atau melena baru setelah periode48 jam atau lebih dari waktu nol, atau dihitung sejak 24 jam saat tanda vital stabil dan hematokrit/ hemo¬globin setelah episode perdarahan akut. Semua episode perdarahan yang terjadi pada saat ini, tanpa memandang derajatnya, harus diperhitungkan dalam evaluasi perdarahan ulang.'123

2.4 Kegagalan Mengatasi Perdarahan Aktif
Definisi kegagalan mengatasi perdarahan akut dibagi menjadi dua kerangka waktu:
(i) Kegagalan mengatasi perdarahan akut dalam enam jam:
Kebutuhan transfusi 4 unit atau lebih, dan ketidakmampuan untuk mencapai peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 20 mmHg atau sampai 70 mmHg atau lebih, dan/atau ketidakmampuan mencapai penurunan frekuensi nadi sampai kurang dari 100 kali/menit atau penurunan 20 denyut/ menit dari frekuensi nadi awal. U3


(ii) Kegagalan untuk mengatasi perdarahan setelah enamjam adalah salah satu dari faktor-faktorberikut:
• Terjadinya hematemesis sejak titik 6 jam (atau setelah 6 jam dari waktu nol).
• Penurunan tekanan darah lebih dari 20 mmHg sejak titik enam j am dan/atau peningkatan frekuensi nadi lebih dari 20 kali/ menit sejak titik enam jam pada dua kali pengukuran yang berturutan berselang satu jam, transfusi 2 unit darah atau lebih (di luar transfusi sebelumnya) untuk meningkatkan hematokrit sampai lebih dari 27% atau hemoglobin di atas 8 g/L.123
2.5 Mortalitas Dini
Kematian dalam enam minggu sejak episode perdarahan awal.123

2.6 Varises Tereradikasi
Varises tereradikasi bila pada pemeriksaan endoskopi berlkutnya tidak ditemukan varises esofagus lagi.123
3.0 Perjalanan Varises pada Sirosis
3.1 Faktor- Faktor Risiko Perdarahan Varises Pertama
Faktor-faktor predisposisi dan memicu perdarahan varises masih belum jelas. Dugaan bahwa esofagitis dapat memicu perdarahan varises telah ditinggalkan.245 Saat ini, faktor-faktor terpenting yang bertanggung jawab atas terjadinya perdarahan varises adalah: (i) tekanan portal, (ii) ukuran varises, (iii) dinding varises dan tegangannya, dan (iv) tingkat keparahan penyakit hati.24
3.1.1 Tekanan Portal
Di semua keadaan, tekanan portal mencerminkan tekanan intravarises.2-4 5 Gradien tekanan vena hepatik lebih dari 12 mmHg diperlukan untuk perkembangan verises dan perdarahan varises esofagus, tetapi tidak ada hubungan linier antara tingkat keparahan hipertensi portal dan risiko perdarahan varises.2 Namun, gradien tekanan vena hepatik atau hepatic venous pressure gradient (HVPG) cenderung lebih tinggi pada penderita yang mengalami perdarahan dan juga pada pasien dengan varises yang lebih besar. Dalam suatu studi prospektif yang membandingkan propanolol dengan plasebo untuk pencegahan perdarahan varises pertama, Grozmann dan kawan-kawan6 memperlihatkan bahwa perdarahan varises tidak terjadi jika gradien tekanan portal dapat diturunkan sampai kurang dari 12 mmHg. Karena itu, tekanan tersebut diterima sebagai tujuan terapi farmakologis hipertensi portal.
3.1.2 Ukuran Varises
Ukuran varises paling baik dinilai dengan endoskopi. Hasil yang bervariasi dari literatur disebabkan karena tidak adanya definisi mengenai perbedaan varises besar dan kecil. Banyak studi26 telah memperlihatkan bahwa risiko perdarahan varises meningkat sesuai dengan ukuran varises.246
3.1.3 Dinding Varises dan Tegangannya.
Polio dan Groszmann2 dengan menggunakan model in vitro memperlihatkan bahwa ruptur varises berkaitan dengan tegangan pada dinding vanses. Tegangan tersebut tergantung pada radius varises. Pada model ini, peningkatan ukuran varises dan penurunan ketebalan dinding varises menyebabkan ruptur varises.
Gambaran endoskopik seperti tanda "red spots"dan "wale" pertama kal: dijelaskan oleh Dagradi.2 Tanda-tanda tersebut dianggap penting dalam memprediksi perdarahan varises. Tanda-tanda ini mencerminkan perubahan pada struktur dinding varises dan tegangan yang berkaitan dengan terbentuknya mikroteleangiektasia. Dalam suatu studi retrospektif oleh Japanese Research Society for Portal Hypertension, Beppu dan kawan-kawanl7 memperlihatkan bahwa 80% pasien yang mempunyai varises biru atau cherry red spots mengalami perdarahan varises, memberi kesan bahwa tanda tersebut merupakan prediktor penting terjadinya perdarahan varises pada sirosis.

3.1.4 Tingkat Keparahan Penyakit Hati
Dua kelompok independen secara prospektif mengkaji faktor-faktor yang memprediksi perdarahan varises pertama pada sirosis: The North Italian Endoscopic Club (NIEC)27 melaporkan penemuannya pada tahun 1988, diikuti pada tahun 1990 dengan data dari Jepang.7 Kedua studi tersebut memperlihatkan bahwa risiko perdarahan didasarkan pada tiga faktor: keparahan penyakit hati sebagaimana diukur dari kriteria Child, ukuran varises, dan tanda red wale. Studi NIEC memperlihatkan rentang risiko perdarahan yang luas, yaitu 6-76% tergantung ada tidaknya faktor-faktor yang berbeda. Indeks ini secara prospektif divalidasi oleh Prada dan kawan-kawan 7 Dengan memakai variabel yang sama, indeks NIEC disederhanakan oleh De Franchis dan kawan-kawan8 dan memperlihatkan korelasi dengan indeks aslinya. Studi lebih lanjut memperlihatkan bahwa HVPG dan tekanan intravarises juga merupakan prediktor independen terhadap perdarahan varises pertama jika analisisnya dikaitan dengan indeks NIEC.910
Sebagai rangkuman, dua faktor terpenting yang menentukan risiko perdarahan varises adalah tingkat keparahan penyakit hati dan ukuran varises. Penguktiran HVPG merupakan pedoman yang bermanfaat dalam menyeleksi terapi bagi pasien dan respons mereka terhadap terapi.

3.2 Prognosis Perdarahan Varises Akut
Mortalitas rata-rata episode pertama perdarahan varises di hampir semua studi adalah 50%. Seperti sudah dibahas, mortalitas perdarahan a satu tahun, mortalitas rata-rata dari perdarahan varises berikutnya adalah 5% pada pasien Child A, 25% pada Child B, dan 50% pada Child C. Meskipun kreatinin serum pada beberapa studi memperlihatkan prediksi terhadap kelangsungan hidup keseluruhan,24 kriteria Child lebih unggul dari faktor prediktif lainnya untuk menentukan mortalitas dalam enam minggu atau 30 hah dari awal timbulnya perdarahan (lihat Rekomendasi 1).

Vine! dan kawan-kawan24 memperlihatkan bahwa HVPG dapat memprediksi kelangsungan hidup jikadiukurdua minggu setelah perdarahan akut. Namun demikian, tidak jelas apakah hal ini bersifat independen terhadap keparahan penyakit hati. Belum jelas apakah perdarahan aktif pada saat endoskopi dapat memprediksi mortalitas. Meskipun Cardin dan kawan-kawan2 menemukan bahwa hal ini adalah faktor penting, Balanzo dan kawan-kawan2 tidak dapat mengkonfirmasi penemuan tersebut. Namun demikian, perdarahan akut pada saat endoskopi dapat memprediksi perdarahan ular.g dini.12 Risiko kematian menurun dengan cepat setelah masuk rumah sak.it sehingga risiko kematian hampir konstan selama kurang lebih enam minggu setelah perdarahan.2

Rckomendasi 1

PEMBAGIAN BESARNYA VARISES
Meskipun sejumlah metode telah di kemukakan untuk menentukan derajat besarnya varises,
metode yang paling sederhana adalah dengan membaginya ke dalam tiga tingkatan
("grades"), yaitu: V;
Grade/Tingkat 1: varises yang kolaps jika esofagus dikembangkan dengan udara Grade/Tingkat 2: varises antara gradeAingkat 1 dan 3. Grade/Tingkat 3: varises yang cukup besar untuk menutup lumen. (Rekomendasi grade CM.)

TINGKAT KEPARAHAN SIROSIS
Tingkat keparahan sirosis paling baik dinilai dengan skor Child-Pugh.41 Bentuk skoring in! adalah jumlah dari skor tingkat keparahan untuk masing-masing variabel yang tercantum dalam tabel.

Skor tingkat keparahan yang dipakai untuk menghitung skor Child-Pugh

Kategori 1 2 3
Ensefalopati 0 I/1I lll/IV
Asites Tidak ada Ringan-sedang Berat
Bilirubin (umol/L) <34 34-51 >51
Albumin (g/L) >35 28-35 <28
INR atau <1.3 1,3-1.5 >1.5
PTt 1 -3dtk 4-6dtk >6dtk


Child-Pugh kelas A jika skor 6 atau kurang, kelas B jika skor 7-9. dan kelas C jika skor 10 atau lebih.
Pasien dengan kelas A paling kecil kemungkinannya untuk meninggal akibat efek perdarahan varises sedangkan pasien dengan kelas C paling besar kemungkinannya untuk meninggal. (Rekomendasi grade Al.)

4.0 Penatalaksanaan Perdarahan Varises

4.1 Profilaksis Primer
Oleh karena 30-50% pasien hipertensi portal akan mengalami perdarahan varises dan sekitar 50%-nya akan meninggal akibat perdarahan pertama, maka logis bila dikembangkan tindakan profilaktik untuk mencegah terjadinya varises namun, sebagian besar penelitian yang sudah dipublikasi tidak memiliki power yang cukup untuk mengidentifikasi efek terapi yang positif.
Telah dilakukan beberapa penelitian untuk mencegah terjadinya perdarahan esofagus yang pertama. Berdasarkan perkiraan angka perdarahan dan angka kematian di kelompok kontrol, maka jumlah pasien minimum yang dibutuhkan untuk mendeteksi 50% penurunan perdarahan adalah 270 orang dan 850 orang lagi di setiap kelompok untuk mendeteksi penurunan mortalitas.2 Usulan algoritme surveilans dan profilaksis varises diperlihatkan pada Gambar 1.




Gambar 1. Usulan algoritma surveilans dan profilaksis primer varises

4.1.1 Terapi Parmakologik
Propanolol. Terapi profilaksis utama untuk profilaksis primer perdarahan varises adalah propanolol yang telah memperlihatkan penurunan gradien tekanan portal, penurunan aliran darah vena azigos dan tekanan varises. Hal ini dicapai dengan membuat vasokonstriksi splanknik dan penurunan curah jantung.2
Ada sembilan uji klinik acak yang menilai efektivitas terapi farmakologik: tujuh berbentuk artikel publikasi dan dua dalam bentuk abstrak.111415 Risiko perdarahan varises lebih rendah pada tujuh penelitian,2'11-14 secara bermakna lebih rendah pada empat penelitian,214 dan tidak berubah pada satu penelitian.15 Terdapat insidensi perdarahan yang lebih tinggi pada kelompok propanolol di salah satu penelitian. Itu adalah penelitian kecil dengan randomisasi yang

mungkjn tidak seimbang karena angka perdarahan yang sangat rendah di kelompok kontrol.2 Mortalitas menurun pada tujuh penelitian,1114-15 bermakna pada satu penelitan,2 dan tidak berubah pada dua penelitian. Meta-analisis. memperlihatkan bahwa risiko perdarahan ulang secara bermakna lebih rendah (OR: 0,54; 95%CI: 0,39-0,75) tetapi perbedaan mortalitas hanya berada di batas kemaknaan (OR 0,75; 95% CI 0,57-1,06).16
Isosorbid mononitrat. Minat untuk menggunakan vasodilator seperf isosorbid mononitrat meningkat sejak obat ini memperlihatkan penurunan tekanan portal seefektif2 propanolol. Suatu uji klinik yang membandingkan isosorbid mononitrat dan propanolol memperlihatkan tidak ada perbedaan bermakna di antara keduanya.17
Penyekat p dan isosorbid mononitrat. Kombinasi nadolol dan isosorbid mononitrat telah dibandingkan dengan nadolol saja dalam suatu uji klinik acak dengan pembanding. Terapi kombinasi ini menurunkan frekuensi perdarahan secara bermakna tetapi tidak ada perbedaan bermakna yang didapat dalam hal mortalitas.18

4.1.2 Terapi Endoskopik
Skleroterapi. Terdapat 19 uji klinik yang membandingkan skleroterapi varises endoskopik dengan yang tanpa terapi, empat di antaranya berbentuk abstrak.8-141519 Penelitian-penelitian ini meliputi 1630 orang pasien dan sangat heterogen. Sepuluh penelitian diantaranya hanya melibatkan pasien dengan varises besar; sembilan lainnya melibatkan pasien dengan varises ukuran berapa pun. Berbagai jenis sklerosan digunakan dengan dosis yang berbeaa dan diinjeksi intra- atau paravariseal. Hasil penelitian-penelitian ini bervariasi, dua penelitian memperlihatkan penurunan bermakna perdarahan dan mortalitas,2 satu penelitian memperlihatkan penurunan morbiditas tetapi tidak ada perubahan dalam hal perdarahan ulang, satu penelitian memperlihatkan peningkatan risiko perdarahan yang bermakna, dan yang lainnya menunjukkan mortalitas yang secara bermakna lebih besar.19 Oleh karena beragamnya penelitian-penelitian tersebut, maka meta-analisis secara klinis tidak cocok dibuat. Pada saat ini skleroterapi tidak dapat dianjurkan untuk profilaksis perdarahan varises pada pasien dengan sirosis.
Ligasi varises. Sarin dan kawan-kawan20 membandingkan ligasi varises dengan yang tanpa terapi aktif dalam suatu penelitian acak, dan memperlihatkan adanya penurunan bermakna perdarahan varises pada pasien yang diterapi dengan ligasi varises. Tidak ditemukan efek yang bermakna pada mortalitas. Observasi ini telah dikonfirmasi dalam suatu penelitian terbaru yang melibatkan sekitar 120 orang pasien.21 Ligasi varises telah dibandingkan dengan propanolol pada suatu uji klinik dengan pembanding, dan memperlihatkan penurunan bermakna dalam hal frekuensi perdarahan pertama tetapi tidak mempengaruhi mortalitas.22
Rekomendasi untuk profilaksis primer perdarahan varises pada sirosis dicantumkan dalam Rekomendasi 2 .
4.1.3 Pembedahan \
Pintasan Portokaval ("Portocaval shunt"). Ada empat uji klinik dalam literatur yang telah mengacak total 302 pasien2 untuk mengetahur perbedaan manfaat antara pembedahan pintasan profilaktik dan terapi non-aktif. Meta analisis terhadap penelitian-penelitian tersebut memperlihatkan manfaat yang bermakna dalam hal penurunan perdarahan varises (OR:0,31; 95%CI: 0,17-0,56), namun ternyata resiko ensefalohepatik dan mortalitas ditemukan secara bermakna lebih tinggi (OR:2, 95%CI: 1,2-3,1 dan OR:1,6, 95%CI: 1,02-2,57, berturut-turut) pada pasien yang menjalani bedah pintasan.13
Prosedur devaskularisasi. Inokuchi dan kawan-kawan2 memperlihatkan penurunan bermakna perdarahan varises dan mortalitas pada pasien yang diterapi dengan berbagai prosedur devaskularisasi. Namun, terdapat sejumlah masalah dalam interpretasi penelitian ini karena penggunaan prosedur yang berbeda di masing-masing dari 22 institusi. Hasil tersebut perlu dikonfirmasi.

4.2 Penatalaksanaan Perdarahan Varises Akut
Langkah terpenting dalam penatalaksanaan perdarahan varises akut adalah resusitasi dini dan proteksi jalan napas untuk mencegah aspirasi. Endoskopi dini memungkinkan pemeriksaan saluran cerna atas dan diagnosis akurat lokasi perdarahan serta keputusan penatalaksanaan (gambar 2). Cara-cara untuk mengatasi perdarahan dibahas berikut ini.

4.2.1 Terapi Farmakologis
Dua kelompok obat utama yang telah digunakan untuk mengatasi perdarahan varises akut adalah vasopresin atau analognya (baik tunggal atau kombinasi dengan nitrogliserin) dan somatostatin atau analognya.

4.2.1.1 Vasopresin
Vasopresin menurunkan aliran darah portal, aliran darah kolateral sistemik portal, dan tekanan varises. Namun obat ini mempunyai efek samping sistemik yang bermakna seperti peningkatan resistensi perifer dan penurunan curah jantung, denyut jantung dan aliran darah koroner. Dibandingkan tanpa terapi aktif, hasil yang dikumpulkan dari empat uji klinik acak2 memperlihatkan bahwa vasopresin menurunkan kegagalan mengatasi perdarahan varises meskipun mortalitas tidak terpengaruh. Uji klinik yang membedakan skleroterapi dengan vasopresin23 telah memperlihatkan bahwa tidak ada efek bermakna dalam hal penurunan kegagalan mengatasi perdarahan varises, kecuali sebuah penelitian23 yang mendapatkan perdarahan ulang secara bermakna lebih rendah pada pasien dengan skleroterapi.


4.1.1.1 Vasopresin dengan nitrogliserin
Penambahan nitrogliserin meningkatkan efek vasopresin pada tekanan portal dan menurunkan efek samping vaskular.2 Ada tiga uji klinik yang membandingkan vasopresin saja dengan vasopresin plus nitrogliserin.2 Kumpulan data dari ketiganya memperlihatkan bahwa kombinasi tersebut dapat menunjukkan penurunan yang bermakna dalam hal kegagalan mengatasi perdarahan, meskipun tidak ada manfaat dalam kelangsungan hidup.

4.1.1.2 Glipresin dengan atau tanpa nitrogliserin
Glipresin adalah analog sintetik vasopresin yang mempunyai efek vasokonstriksi sistemik segera dan diikuti efek hemodinamik portal akibat konversi lambat menjadi vasopresin. Keampuhannya telah diteliti pada tiga uji klinik dengan pembanding plasebo dan secara bermakna terlihat dapat menurunkan kegagalan mengatasi perdarahan dan juga memperbaiki kelangsungan hidup.2 Lima uji klinik acak membandingkan keampuhannya yaitu tiga penelitian terhadap vasopresin saja dan dua penelitian terhadap kombinasi vasopresin dan nitrogliserin.2 Glipresin secara bermakna menurunkan kegagalan mengatasi perdarahan dibandingkan vasopresin saja dan sama baiknya dengan kombinasi vasopresin dan nitrogliserin. Tiga uji klinik membandingkannya dengan somatostatin dan tampak sama efektifnya.24 25 Dua uji klinik membandingkan keampuhannya terhadap tamponade balon dan tampak sama efektifnya.26

4.1.1.3 Somatostatin dan Octreotide
Somatosatatin menyebabkan vasokonstriksi splanknik selektif dan menurunkan tekanan portal dan aliran darah portal.2 Somatostatin secara bermakna tampak menurunkan kegagalan mengatasi perdarahan pada sebuah penelitian dan tidak memperlihatkan perbedaan bermakna terhadap plasebo pada penelitian lainnya. Tujuh penelitian2 27 membandingkan keampuhannya terhadap vasopresin dan memperlihatkan bahwa somatostatin menurunkan kegagalan mengatasi perdarahan dan terkait dengan efek sampinq vana lebih sedikit
4.1.1 Terapi Endoskopi

4.1.1.1 Skleroterapi
Skleroterapi varises endoskopik didasarkan pada konsep bahwa perdarahan dari varises dapat dihentikan oleh pembentukan trombos dalam varises yang berdarah, sekunder akibat pemberian obat sklerosan yang diinjeksikan intravariseal atau paravariseal. Pada uji klinik skleroterapi untuk perdarahan akut, terdapat banyak variasi dalam hal jenis sklerosan yang dipakai, pengalaman operator, cara pemberian intravariseal atau paravariseal, dan jadwal follow-up. Lebih lanjut, interpretasi hasil dari uji klinik skleroterapi injeksi dengan terapi non-invasif dipersulit dengan dimasukkannya pasien yang tidak mengalami perdarahan aktif pada saat randomisasi.2
Empat uji klinik telah membandingkan skleroterapi dengan tamponade balon2 dan dua di antaranya menunjukkan pengendalian perdarahan yang secara bermakna lebih tinggi pada pasien yang mendapat skleroterapi. Hasil pengendalian perdarahan pada pasien skleroterapi sangat tinggi, yaitu 95% dan 100%.

4.1.1.2 Ligasi Varises
Teknik ini merupakan modifikasi dari yang digunakan untuk ligasi hemoroid interna. Penggunaannya pada manusia pertama kali diperkenalkan pada tahun 19882 dan uji klinik acak berikutnya yang membandingkan ligasi dengan skleroterapi memperlihatkan penurunan bermakna dalam hal angka komplikasi dan perbaikan kelangsungan hidup. Uji klinik lainnya membuktikan bahwa ligasi varises dapat mengatasi perdarahan varises akut, dan tidak ada perbedaan bermakna dalam hal mengendalikan perdarahan aktif antara ligasi dan skleroterapi. Lo dan kawan-kawan34 memperlihatkan bahwa perdarahan aktif lebih mudah diatasi dengan ligasi (94%) dibandingkan dengan skleroterapi (80%).

4.1.1.3 Terapi Endoskopi lainnya
Pengendalian perdarahan dengan memakai perekat jaringan ("glue") seperti sianoakrilat atau bukrilat telah dilaporkan pada sekitar 90% kasus.2 Namun terdapat angka perdarahan ulang yang sama dibandingkan skleroterapi dan terjadi komplikasi yang bermakna dalam bentuk kejadian serebrovaskular terkait injeksi perekat jaringan dan risiko kerusakan pada alat.

4.1.2 Tamponade Balon
Bentuk terapi ini sangat efektif dalam mengatasi perdarahan akut sampai 90% pasien meskipun sekitar 50%-nya mengalami perdarahan ulang ketika balon dikempiskan.2 Namun cara ini dapat menimbulkan komplikasi yang serius seperti ulserasi esofagus dan pneumonia aspirasi pada 15-20% pasien. Meskipun begitu, cara ini mungkin dapat menjadi terapi penyelamat pada perdarahan varises masif yang tak terkendali, sebelum dapat diberikan bentuk terapi lainnya.
.1.3 TIPSS
Tiga penelitian secara khusus menekankan peran TIPSS dalam penatalaksanaan perdarahan varises yang tidak teratasi.3536 Penelitiyn-penelitian tersebut memperlihatkan bahwa TIPSS berhasil memberikan hasil yang memuaskan dalam situasi ini, serta dapat mengendalikan perdarahan dengan cepat. Tidak satupun penelitian ini diacak tetapi sebuah penelitian memberi kesan bahwa pasien mungkin mendapat manfaat kelangsungan hidup jika TIPSS digunakan dalam situasi perdarahan varises tidak teratasi pada pasien dengan sirosis dibandingkan kelompok kontrol terdahulu yang diterapi dengan transeksi esofagus. Penelitian terbaru membandingkan TIPSS dengan pintasan portakaval H-graft pada pasien yang gagal diatasi secara non-operatif,
4.1.4 Transplantasi Hati
Cara ini mungkin hanya cocok untuk pasien yang mengalami perdarahan ketika menunggu transplantasi hati meskipun penelitian dengan ligasi varises atau perbandingan dengann TIPSS dalam situasi ini harus dilakukan. Namun, transplantasi hati merupakan pilihan yang sangat jarang bagi sebagian besar pasien, baik karena prosedur ini tidak lazim ada dan karena sedikitnya atau lamanya pencarian organ. Tidak ada uji klinik transplantasi hati pada perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan aktif.
Rekomendasi untuk pengendalian perdarahan varises pada sircsis diberikan dalam Rekomendasi 4.

Pembenan VJansfUsj cja^'h hanis dikerjakan dengan hatj-hati^
• ^dengan menggunakan plasma expander untuk mempe/tahankart he^
•fSstabi^dan^sel darah merah yang dipadatkan (PRC= j^cke^
"^mempertan^ % dan atau hemat&rit
^memperhatikan faktor-faktor lain seperti: komorbiditas, usia, status; :hem^iniamik,
Vi: i^nasih ada tjdaknya perdarahan (Rekomendasi grade Bl.j - |^
• Bejuhtbisa^^ifehtukan rekomendasi untuk penanganan' kelainan'kp^uk^
• •:-#:;troi^^s;rtp^m(Rekomendasigrade CHI.) "
• Antibiotika harus diberikan secara integral sebagai bagian dari penatalaksanaan pasien •.dengan perdarahan varises, dan harus diberikan sejak masuk rumah sakit.
"; (Re^kbmer^asiAl) • : -.'- »>V:
(2) PEN EN YUAN WAKTU EN pOSKQPI SALURAN CERNA ATAS / ^ ; .^J; •
• Bila ada fasilitas, pemeriksaan endoskopi dilaksanakan dalam waktu 24 jam setelah : masuk rumah sakit dan hemodinamik pasien stabil. Terutama pada pasien yang diduga
sirosis dengan perdarahan yang secara kiinis bermakna. (Rekomendasi grade Bill.)
(3) PENGENDALIAN PERDARAHAN * ' -r
• Bila ada dugaan perdarahan varises, obat-obat vasoaktif harus diberikan secepat mungkin, sebelum dikerjakan diagnosis dengan endoskopi (Rekomedasi grade A1).
• Pengobatan dengan obat-obat vasoaktif ini (octreotide, somatostatin) harus dipertahankan selama 2-5 hari pada perdarahan varises. (Rekomendasi grade A1)
• Penggunaan tamponade balon (SB tube) seyogyanya hanya pada perdarahan masif, sebagai jembatan darurat (temporary bridge) sampai pengobatan definitif dapat dilakukan. (Untuk maksimum dalam waktu 24 jam, lebih terpilih dikerjakan di Unit Perawatan Intensity (Rekomendasi grade CHI.)
• Terapi endoskopi dianjurkan pada setiap pasien yang terbukti mengalami perdarahan varises. (Rekomendasi grade Al) ,
• Ligasi varises merupakan metode pilihan pertama. (Rekomendasi grade Al)
• Jika ligasi sulit karena perdarahan berlanjut atau teknik ini tidak ada, harus dilakukan
.1 skleroterapi varises. (Rekomendasi grade Al). :' ,,'<^:>- , w
">••; Terapi endoskopi dengan perekat jaringan (tissue addesive -misalriya :: N-butyl-cy-
anoacrylate) dianjurkan pada perdarahan akut varises lambung. (Rekomendasi grade
A1.) £ v «■
• Terapi endoskopi sebaikriya dikombinasi dengan terapi farmakologi, dengan catatan • terapi farmakologi ini seyogyanya sudah dimulai sebelum tindakan endoskopi.
(Rekomendasi A1.) ■ '
(4) KEGAGALAN MENGATASI PERDARAHAN AKTIF / -J
• Dalam hal perdarahan sulit diatasi, sebuah Sengstaken tube harus dipasang sampai ; terapi endoskopik, TIPSS. atau tindakan bedah danat riikPriaifan^/Ro^rtrrion^oej nr4viA

: memindahkanpasien ke instrtusi yang lebih spesialistik. (Rekomendasi grade Bli.J
Cara terapi lain, seperti timijikan bedah (misalnya transeksi eMf^iisf^M TJPSS -
fdapat dipiki^ banyak teknik *4ni telah dilakukan
l!ns#u^ ^ff^P3?!^ "antinya akan dirawat. pekc^^ridasi grade Bli.) '


4.3 Profilaksis Sekunder Perdarahan Varises
Bentuk terapi ini ditujukan untuk mencegah berulangnya perdarahan
varises.

4.3.1 Penyekat ft
Sebanyak 755 pasien diacak pada 11 uji klinik yang membandingkan antara pemberian propanolol atau nadolol dan tanpa terapi aktif.2 37 Penurunan perdarahan ulang yang bermakna tampak pada empat uji klinik dan sebuah meta-analisis memperlihatkan penurunan yang bermakna secara keseluruhan (OR:0,4, 95%CI: 0,3-0,54). Delapan uji klinik memperlihatkan penurunan mortalitas yang bermakna sebagaimana halnya analisis menyeluruh.

4.3.2 Terapi Endoskopi
Sejumlah 1111 orang pasien telah diacak untuk mendapat skleroterapi atau tanpa terapi pada delapan uji klinik.37-38 Perdarahan ulang secara bermakna berkurang pada dua penelitian.2 Secara keseluruhan, tidak ada penurunan bermakna dalam hal perdarahan ulang (OR:0,63. 95%CI: 0,49-0,79). Mortalitas secara bermakna turun pada sebuah penelitian. Secara keseluruhan terdapat penurunan mortalitas yang bermakna (OR:0,77, 95%CI:0,61-0,98).
Skleroterapi telah dibandingkan dengan penyekat ft dalam sembilan uji klinik yang mengacak 787 orang pasien.37-384041 Penurunan perdarahan ulang yang bermakna didapatkan pada kelompok skleroterapi pada dua penelitian2.41 dan peningkatan yang tidak bermakna tercatat pada tiga penelitian2,37 Sisanya memperlihatkan penurunan perdarahan ulang yang tidak bermakna secara statistik.
Tidak ada perbedaan bermakna yang dideteksi pada sebuah meta-analisis terhadap 10 uji klinik yang membandingkan skleroterapi dengar skleroterapi plus'penyekat ft.13 Dua uji klinik yang membandingkan skleroterapi dan penyekat ft dengan penyekat ft saja memperlihatkan bahwa terapi kombinasi menurunkan perdarahan ulang dan mortalitas secara bermakna.
Saat ini setidaknya ada tujuh publikasi uji klinik dalam literatur yang membandingkan skleroterapi dengan ligasi variseal yang telah digabungkan dalam sebuah meta-analisis.34-42-43-44 Studi ini melibatkan 547 pasien dan menyimpulkan bahwa ligasi varises menghasilkan angka perdarahan ulang yang secara bermakna lebih rendah (OR:0,52, 95%CI: 0,37-0,74), juga mortalitas (OR:0,67, 95%CI: 0,46-0,98) dan komplikasi seperti striktur esofagus (OR:0,10, 95%CI: 0,03-0,29). Penelitian-penelitian tersebut membandingkan dua modalitas terapi terbaik yang tersedia saat ini dan memperlihatkan bahwa ligasi varises menurunkan perdarahan ulang, mortalitas dan komplikasi lokal.
4.3.3 TIPSS
Transjugular intrahepatic portosystemic stent shunt (TIPSS) telah dibandingkan dengan skleroterapi pada delapan uji klinik acak45-46-47 dan dengan ligasi varises pada salah satunya.48 Semua kecuali satu penelitian2 yang membandingkan TIPSS dengan skleroterapi menunjukkan penurunan perdarahan ulang yang bermakna pada pasien yang diterapi dengan TIPSS. Sebuah penelitian memperlihatkan penurunan kelangsungan hidup2 dan sebuah studi lainnya memperlihatkan perbaikan kelangsungan hidup pada pasien yang diterapi dengan TIPSS.2-49 Studi-studi lainnya tidak memperlihatkan perbedaan bermakna dalam hal mortalitas. Studi yang membandingkan TIPSS dengan ligasi varises plus "TIPSS rescue" memperlihatkan bahwa pasien yang diterapi dengan ligasi secara bermakna mengalami perdarahan ulang lebih banyak meskipun tidak ada perbedaan dalam hal mortalitas di antara kedua kelompok. Sebuah rneta-analisis terbaru membandingkan TIPSS dengan terapi endoskopik mengkonfirmasi bahwa TIPSS menurunkan perdarahan ulang dan berkaitan dengan peningkatan risiko ensefaiopati. Tidak ada perbedaan kelangsungan hidup yang diamati antara pasien yang diterapi dengan TIPPS atau terapi endoskopik.49 Walaupun terdapat masalah insufisiensi pintasan dan biaya surveilans pintasan, TIPSS tampaknya lebih cost-effective dibandingkan terapi endoskopik.2

4.3.4 Pembedahan
Pintasan portakaval
Pintasan portakaval atau portacaval shunts (PCS) dapat dilakukan baik secara non-selektif maupun selektif. PCS non-selektif adalah pengalihan aliran darah portal ke dalam sirkulasi sistemik sehingga mengurangi aliran darah hepar. Pintasan selektif (pintasan splenorenal distal) adalah drainase varises ke dalam sirkulasi sistemik tanpa mempengaruhi aliran darah hepar.2
Enam uji klinik membandingkan pintasan non-selektif dengan pintasan splenorenal distal dan melibatkan total 336 pasien. Tidak ada perbedaan perdarahan ulang atau ensefaiopati yang diamati pada studi-studi tersebut. Mortalitas tidak berbeda bermakna pada lima dari studi tersebut namun turun secara bermakna pada satu studi.2
Pintasan sptenorenal distal telah dibandingkan dengan skleroterapi pada empat uji klinik acak50 dan dengan PCS pada tiga studi.2 Bedah pintasan dihubungkan secara bermakna dengan penurunan perdarahan ulang pada lima dari uji tersebut250 dan juga pada sebuah meta-analisis (OR:0,18, 95%CI: 0,12-0,28). Insidensi ensefaiopati hepatik setelah bedah pintasan juga secara bermakna lebih besar dibandingkan skleroterapi pada empat studPdan tetap tidak berubah pada dua studi.50 Mortalitas meningkat secara bermakna pada kelompok PCS pada satu studi tetapi secara keseluruhan tidak ada perbedaan bermakna.
Rekomendasi untuk profilaksis sekunder perdarahan varises pada sirosis dicantumkan pada Rekomendasi 6, gambar 2, 3 sampai 5.


5.0 Varises Lambung
5.1 Perjalanan Penyakit
Varises lambung dapat dideteksi saat endoskopi pertama pada 20% pendente dengan semua tipe hipertensi portal (primer). Dalam dua tahun pertama eradikasi varises esofagus, 10% pasien akan mengalami varises lambung (sekunder). Varises lambung primer lebih sering ditemui pada pasien dengan hipertensi portal karena obstruksi vena portal ekstrahepatik dibandingkan dengan sirosis.251
Varises lambung dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya di lambung dan hubungannya dengan varises esofagus. Klasifikasi ini berdampak pada penatalaksanaannya. Varises lambung dapat dibagi menjadi: (1 Jvarises gastroesofagus atau gastro-oesophageal varices (GOV), yang berkaitan dengan varises esofagus; dan (5) varises lambung terisolasi atau isolated gastric varices (IGV), yang terjadi tanpa tergantung varises esofagus. GOV tipe 1 merupakan kelanjutan varises esofagus yang meluas sampai 2-5 cm di bawah gastro-oesophageal junction di sepanjang kurvatura minor lambung. GOV tipe 2 memanjang di luar gastro-oesophageal junction ke dalam fundus labung. IGV tipe I adalah varises yang terjadi di fundus lambung dan tipe 2 mencerminkan varises di tempat lain dalam lambung termasuk korpus, antrum, pilorus, dan duodenum.2 Tipe varises yang paling sering tampak pada sirosis adalah GOV tipe 1. Pasien yang berdarah karena IGV berisiko lebih tinggi untuk meninggal akibat episode perdarahan varises dibandingkan dengan paslien yang mengalami perdarahan dari GOV.52

5.2 Penatalaksanaan
Pilihan penatalaksanaan perdarahan varises lambung adalah metode endoskopik, bedah, TIPSS, dan metode radiologik lainnya. Metode farmakologik saat ini tidak dipakai dalam penatalaksanaan penderita perdarahan varises lambung.

5.2.1 Terapi Endoskopik
Skleroterapiendoskopik. Skleroterapi sebagaimana dijelaskan pada perdarahan varises esofagus tampak efektif dalam mengatasi perdarahan aktif pada semua jenis varises lambung pada sekitar 70-80% pasien dengan perdarahan varises lambung.53-54 Namun, perdarahan aktif dapat dihentikan dengan skleroterapi hanya pada 26% pasien dengan IGV.42 Selain itu, perdarahan ulang setelah skleroterapi endoskopik terjadi pada 60-90% pasien di berbagai studi.42-53 54 Episode perdarahan ulang lebih sering pada pasien dengan IGV.425354
Terapi injeksi endoskopik dengan "lem super". Beberapa studi telah menggunakan sianoakrilat untuk terapi varises esofagogastrik. Soehendra dan kawan-kawan2 menggunakannya dengan baik untuk menghilangkan varises lambung. Ramon dan kawan-kawan2 menggunakan sianoakrilat untuk mengatasi varises lambung pada 27 orang pasien dan melaporkan keberhasilan mengatasi perdarahan aktif pada 90% pasien yang mengalami perdarahan aktif tetapi 50% diantaranya kembali berdarah. Pada suatu studi terkontrol tetapi tidak acak yang membandingkan butil syanoakrilat dengan skleroterapi, Oho dan kawan-kawan55 memperlihatkan angka pengendalian perdarahan awal secara bermakna lebih tinggi pada pasien yang diterapi dengan sianoakrilat. Kelangsungan hidup secara bermakna lebih tinggi pada pasien yang diterapi dengan sianoakrilat dibandingkan skleroterapi. Komplikasi tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok.


Injeksi trombin endoskopik. Injeksi trombin sapi (1000 U/ml) untuk perdarahan dari varises lambung telah digunakan pada 11 orang pasien sirosis, sembilan orang di antaranya mengalami perdarahan karena IGV1 dan dua orang karena GOV1. Perdarahan dapat diatasi pada semua pasien dan varises dapat dieradikasi pada semua pasien setelah rerata dua injeksi. Perdarahan ulang, setelah follow-up selama sembilan bulan, terjadi pada seorang pasien.56
Penggunaan Sengstaken tube. Beberapa peneliti telah memperlihatkan pengendalian perdarahan yang cepat dapat dilihat pada semua jenis varises lambung kecuali IGV2 dengan menggunakan Sengstaken-Blakemore tube dan balon lambung, yang dipertahankan dengan traksi sedang. Namun, perdarahan ulang hampir terjadi pada semua pasien jika modalitas terapi lainnya tidak diberikan.52,53-57
Ligasi endoskopik. Ligasi varises lambung menggunakan cincin "O" dan detachable snares terlihat dapat mengatasi perdarahan aktif dari varises lambung tetapi hampir selalu diikuti dengan perdarahan ulang.58-59 Belum ada studi dengan pembanding mengenai aplikasi terapi ini. Namun mengingat anatomi lambung, mungkin berbahaya jika dilakukan pengikatan varises lambung.

5.2.2 Tindakan Bedah
Under running varises lambung2 telah menunjukkan pengendalian perdarahan aktif tetapi diikuti oleh perdarahan ulang pada 50% pasien dan berkaitan dengan mortalitas perioperatif lebih dari 40%. Devaskularisasi lengkap kardia, lambung dan esofagus distal untuk perdarahan lambung berkaitan dengan pengendalian perdarahan yang baik tetapi diikuti perdarahan ulang pad$ lebih dari 40% pasien dan mortalitas dint sekitar 50%.2 Penggunaan pintasan splenorenal distal untuk perdarahan dari varises lambung pada pasien sirosis belum diteliti dengan baik dan penggunaannya . baru dilaporkan pada erfiam pasien dengan kriteria Child Aatau B. Meskipun perdarahan dapat diatasi dengan baik, dua orang pasien meninggal dalam periode pascaoperasi.60

5.2.3 Radiologi
Penggunaan "balloon occluded retrograde transvenous obliteration" (B-RTO) untuk terapi perdarahan akibat varises lambung dipelopori oleh peneliti-peneliti Jepang.61 Prosedur ini melibatkan insersi kateter balon ke dalam suatu pintasan aliran keluar (gastrik-renal atau gastrik-vena kava in¬ferior) melalui vena femoral atau jugularis interna. Aliran darah dihambat dengan pengembangah balon dan kemudian diinjeksikan etanolamin oleat iopamidol 5% dengan oara retrograd. Penggunaan teknik ini telah dilakukan pada 60 orang pasien. Pengendalian perdarahan yang baik telah dilihat pada semua pasien dan rekurensi varises terjadi pada sekitar 10% pasien. Namun, belum ada studi dengan pembanding mengenai penggunaan teknik ini.2

5.2.4 TIPSS
TIPPS tampak dapat mengatasi perdarahan aktif dari varises lambung pada hampir semua pasien yang berhasil menjalani bedah pintasan.6263 Mortalitas terkait prosedur adalah sekitar 1% dan perdarahan ulang terjadi pada 15% pasien yang mengalami insufisiensi pintasan.62 Pada suatu studi komparatif, evaluasi outcome klinis pada pasien yang diterapi dengan TIPSS untuk perdarahan varises dari varises esofagus dan lambung tidak mendapatkan perbedaan bermakna dalam hal angka pengendalian perdarahan, perdarahan ulang, atau kelangsungan hidup.63 TIPSS tampaknya merupakan metode yang efektif untuk mengatasi perdarahan varises lambung. Namun, belum ada uji klinik acak yang membandingkan TIPSS dengan bentuk terapi lainnya yang tersedia.
Rekomendasi untuk penatalaksanaan varises lambung terdapat pada Rekomendasi 7.

Rekomendasi 6: Varises Lambung

KLASIFIKASI VARISES LAMBUNG %, -; L.'
Primer -
• Varises lambung yang dapat dideteksi pada endoskopi pertama Sekunder
• Varises lambung yang terjadi dalam dua tahun setelah eradtkasi varises esofagus Jenls-jenis varises lambung

• Varises gastro-esofageal (GOV) tipe 1 dan 2: yartu varises lambung yang merupakan kelanjutan varieses esofagus dan terbentuk di sepanjang kurvatura minor atau di fun¬dus, berturut-turut.
• Varises lambung terisolasi (IGV) tipe 1 dan 2: yaitu varises lambung yang tidak merupakan kelanjutan varises esofagus dan terjadi baikdi fundus lambung atau lokasi lain di lambung, termasuk korpus, antrum, pilorus, dan duodenum, berturut turut. (Rekomendasi grade Bll.) ; .


REKOMENDASI 7 ?

PENATALAKSANAAN PERDARAHAN AKUT DARI VARISES LAMBUNG
Varises gastro-esofageal
• Perlakukan seperti varises esofagus. (Rekomendasi grade Bll.)
Varises lambung terisolasi 'l ": " ■.'
• Terapi inisial: skleroterapi injeksi baik dengan sklerosan, butil-syanoakrilat, atau trombin. (Rekomendasigrade Bll.) /
• Jika perdarahan gagal diatasi: tamponade balon dengan Sengstaken-Blakenmore - tube. (Rekomendasi grade Bll.) :/;:/, -
• v .Untuk pengendalian perdarahan varises jangka panjang: TIPSS atau bedah pintasan.
(Rekomendasi grade Bll.) \ ;^ >


6 Antibiotika

Infeksi bakterial terjadi pada sekitar 20% pasien sirosis dengan perdarahan saluran cerna atas dalam 48 jam setelah masuk rumah sakit64 dan jnsidenslnya meningkat sampai 35-66% dalam dua minggu.65-66 Prog¬nosis untuk perdarahan ulang, kegagalan mengatasi perdarahan dan out¬come perawatan berkaitan erat dengan infeksi bakterial.66 Enam uji klinik dengan pembanding telah membandingkan antara pemberian profilaksis antibiotik dan tanpa profilaiksis.67'68-6970 Lima artikel yang dipublikasikan secara lengkap telah digabungkan dalam suatu meta-analisis.67-71 Fluorokuinolon digunakan dalam empat studi68-70 dan antibiotik oral yang tidak dapat diabsorpsi pada satu studi.67 Hasilnya memperlihatkan bahwa profilaksis antibiotik secara bermakna berhubungan dengan angKa infeksi, bakteremia, dan peritonitis bakterial spontan. Profilaksis antibiotik berkaitan dengan perbaikan kelangsungan hidup jangka pendek yang bermakna (rerata perbaikan adalah 9,1% dengan 95%CI: 2,9-15,3; p<0,0G4). JHasil di atas memberi kesan bahwa pasien sirosis dan perdarahan saluran cerna atas harus mendapat antibiotik profilaksis. Pilihan antibiotik dan dosisnya dapat diperdebatkan dan harus diputuskan berdasarkan kebijakan unit rumah sakit di mana pasien dirawat. Namun, sebagian besar dari studi yang ada telah memakai fluorokuinolon dan oleh karenanya bukti-bukti menunjukkan penggunaan fluorokuinolon (siprofloksasin) sebagai cara yang paling sederhana dengan dosis 1 g per hari secara oral.

Rekomendasi 8 : Profilaksis terhadap Infeksi
• Infeksi sering terjadi setelah perdarahan saluran cerna atas pada pasien sirosis dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas.
• Semua pasien yang datang dengan episode perdarahan varises harus mendapat profilaksis antibiotik dimulai sejak masuk rumah sakit.
• Dianjurkan untuk memberi siprofloksasin 1g/hari selama 7 hari.



DAFTAR RUJUKAN
1. de Franchis R. Evolving Consensus in Portal Hypertension Report of the Baveno IV Consensus Workshop on methodology of diagnosis and therapy in portal hypertension -Special report. J Hepatology 2005;43:167-176.
2. Jalan R and Hayes PC. UK guidelines on the management of variceal haemorrhage in cirrhotic patient?. Gut 2000;46(Suppl 3):iii1-iii15
3. de Franchis R. Updating consensus in portal hypertension: report of the Baveno III consensus workshop on definitions, methodology and therapeutic strategies in portal hypertension. J Hepatol 2000;33: 846-852.
4. D'Amico G. Esophageal varices: from appearance to rupture; natural history and prog¬nostic indicators. In: Groszmann RJ, Bosch J, editors. Portal hypertension in the 21st century. Dordrecht: Kiuwer; 2004. p. 147-154.
5. Thom$enBLfM0ller$,S0fen$enTlA^
Project: Optimised analysis of recurrent bleeding and death in patients with cirrhosis and oesophageal varices: application of a multi-stage competing risk model. J Hepatol 1994;21:367-375.
6. Groszmann RJ, Bosch J, Grace NO, et al. Hemodynamic events in a prospective randomized trial of propranolol versus placebo in the prevention of a first variceal hemorrhage. Gastroenterology 1990;99:1401-1407.
7. Prada A Bortoli A, Minoli G, Camovafi M, Colombo E, Sangiovanni A Prediction of oesophageal variceal bleeding: Evaluation of the beppu and North Italian Endoscopic Club scores by an independent group. Eur J Gastroenterol Hepatol 1994;6:1009-1013.
8. De Franchis R, Primignani M, Arcidiacono PG, et al. Prophylactic sclerotherapy in high-risk cirrhotics selected by endoscopic criteria: A multicenter randomized controlled trial. Gastroenterology 1991 ;101:1087-1093.
9. Feu F, Del Arbol LR, Banares R, Planas R, Bosch J. Double-blind randomized controlled trial comparing terlipressin and somatostatin for acute variceal hemorrhage. Gastroenterology 1996;111:1291-1299.
10. Merkel C, Bolognesi M, Bellon S, et al. Prognostic usefulness of hepatic vein catheterization in patients with cirrhosis and esophageal varices. Gastroenterology 1992;102:973-979.
11. Conn HO, Grace ND, Bosch J, et al. Propranolol in the prevention of the first hemorrhage from esophagogastric varices: A multicenter, randomized controlled clinical trial. Hepatology 1991;13:902-912.
12. Siringo S, McCormick PA, Mistry P, Kaye G, Mclntyre N, Burroughs AK. Prognostic significance of the white nipple sign in variceal bleeding. Gastrointest Endos 1991;37:51-55.
13. D'Amico G, Pagliaro L, Bosch J. The treatment of portal hypertension: A meta-analytic review. Hepatology 1995;22:332-354.
14. Andreani T, Poupon RE, Balkau BJ, et al. Preventive therapy of first gastrointestinal bleeding in patients with cirrhosis: Results of a controlled trial comparing propranolol, endoscopic sclerotherapy and placebo. Hepatology 1990;12:1413-1419.
15. The PROVA Study Group. Prophylaxis of first hemorrhage from oesophageal varices by sclerotherapy, propranolol or both in cirrhotic patients. A randomised multicenter trial. Hepatology 1991;14:1016-1024.
16. Hayes PC, Davis JM, Lewis JA, Bouchier IAD. Meta-analysis of the value of propranolol in the prevention of variceal haemorrhage. Lancet 1990;336:153-156.
17. Angelico M, Carli L, Piat C, et al. lsosorbide-5-mononitrate versus propranolol in the prevention of first bleeding in cirrhosis. Gastroenterology 1993;104:1460-1465.
18. Merkel C, Marin R, Enzo E, et al. Randomised trial of nadolol alone or with isosorbide mononitrate for primary prophylaxis of variceal bleeding in cirrhosis. Gruppo-Triveneto per L'ipertensione portale. N Engl J Med 1996;334:1624-1629.
19. VA Cooperative Variceal Sclerotherapy Group. Sclerotherapy for male alcoholic cirrhotic patients who have Wed for esophageal varices: results of a randomized multicenter clinical trial. Hepatology 1994;20:618-625.






Selasa, 29 Juni 2010

EDISI KEEMPAT- JILID I





BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM

Editor

Aru W. Sudoyo
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalani FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Bambang Setiyohadi
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Idrus Alwi
Konsultan Kardiologi -Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Marcellus Simadibrata K.
Konsultan Gastroenterologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta .

Siti Setiati
Konsultan Geriatri Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

PUSAT PENERBITAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Editor: Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati Editor Topik: Aida Lydia, Ari Fahrial Syam, Arif Mansjoer, Ceva W. Pitoyo, E. Mudjaddid, Evy Yunihastuti, Hamzah Shatri, Ika Prasetya Wijaya, Ikhwan Rinaldi, Irsan Hasan, Ivo Novita S., Khie Chen, Kuntjoro Harimurti, Nafrialdi, Nanang Sukmana, Nina Kemala Sari, Parlindungan Siregar, Purwita W. Laksmi, Reno Gustaviani R, Ryan Ranitya, Sally A.Nasution

Redaktur Pelaksana: Nia Kurniasih
Setting dan Layout: Edy Supardi, Nia Kurniasih, Sudiariandini S., Zikri Anwar, Hari Sugianto, Sandi Saputra Design Cover: Hari Sugianto, Edy Supardi


21 cm x 28 cm 23 + 550 halaman
ISBN: 979-9455-50-2 (JilidLengkap) ISBN : 979-9455-51 -0 (Jilid I)

©2006 Pusat Penerbitan Deptfrtemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jl. Diponegoro No. 71 Jakarta Pusat 10430
Telp.: 021-3193775 Faks.: 021-31903776
Email: pipfkui@yahoo.com Website: www.internafkui.or.id




Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Sanksi Pelanggaran Pasal 44
Undang -undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 6 Tahun 1987 Tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Nomor 7 Tahun 1987.
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000.00,- (seratus juta rupiah)
barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat(l), dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000.00,- (lima puluh juta rupiah)





Diterbitkan pertama kali oleh:
Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, Juni 2006

Cetakan kedua dengan Revisi Mei 2007


SIROSIS HATI ( HALAMAN 443 )


PENDAHULUAN
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenerate. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati.
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis. Hal ini hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati.

KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI
Sirosis secara konvensional diklasifikasikan sebagai makronodular (besar nodul lebih dari 3 mm) atau mikronodular (besar nodul kurang dari 3 mm) atau campuran mikro dan makronodular. Selain itu juga diklasifikasikan berdasarkan etiologi, fungsional namun hal ini juga kurang memuaskan.
Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis menjadi: 1). alkoholik, 2) kriptogenik dan post hepatitis (pasca nekrosis), 3) biliaris, 4) kardiak, dan 5) metabolik, keturunan, dan terkait obat.
Etiologi dari sirosis hati disajikan dalam tabel 1. Di negara barat yang tersering akibat alkoholik sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepa­tite C 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C {non B-non Q. Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya.
EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 40 % pasien sirosis asimtomatis. Pada keadaan ini sirosis ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsi. Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus kronik. Hasil penelitian lain menyebutkan perlemakan hati akan mengakibatkan steatohepatitis nonalkoholik (NASH, prevalensi 4%) dan berakhir dengan sirosis hati dengan prevalensi 0,3 %. Prevalensi sirosis hati akibat steatohepatitis alkoholik dilaporkan 0,3 % juga. Di Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hati berkisar 4,1 % dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004) ( tidak dipublikasi). Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4 %) pasien dari seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam.

PATOLOGI DAN PATOGENESIS
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai oleh pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan sel-sel hati yang uniform, dan sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadang-kadang disebut sirosis mikronodular. Sirosis mikronodular dapat pula diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi hati utama akibat induksi alkohol adalah 1). Perlemakan hati alkoholik, 2). Hepatitis alkoholik, dan 3). Sirosis alkoholik.
i'TabeVfc Sebab^ebab Sirosis o*n/atau Penyakit Ml Kronik '
Penyakit Infeksi
Bruselosis Ekinokokus Skistosomiasis Toksoplasmosis
Hepatitis virus (hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, sitomegalovirus)' Penyakit Keturunan dan Metabolik
Defisiensi arantitripsin Sindrom Fanconi Galaktosemia Penyakit Gaucher Penyakit simpanan glikogen Hemokromatosis Intoleransi fluktosa herediter Tirosinemia herediter Penyakit Wilson Obat dan Toksin
Alkohol Amiodaron Arsenik Obstruksi bilier
Penyakit perlemakan hati non alkoholik Sirosis bilier primer Kolangitis sklerosis primer Penyebab Lain atau Tidak Terbukti
Penyakit usus inflamasi kronik Fibrosis kistik Pintas jejunoileal Sarkoidosis

Perlemakan Hati Alkoholik
Steatosis atau perlemakan hati, hepatosit teregang oleh vakuola lunak dalam sitoplasma berbentuk makrovesikel yang mendorong inti hepatosit ke membran sel.
Hepatitis Alkoholik
Fibrosis perivenular berlanjut menjadi sirosis panlobular akibat masukan alkohol dan destruksi hepatosit yang berkepanjangan. Fibrosis yang terjadi dapat berkontraksi di tempat cedera dan merangsang pembentukan kolagen. Di daerah periportal dan perisentral timbul septa jaringan ikat seperti jaring yang akhirnya menghubungkan triad portal dengan vena sentralis. Jalinan jaringan ikat halus ini mengelilingi massa kecil sel hati yang masih ada yang keinudian mengalami regenerasi dan membentuk nodulus. Namun demikian kerusakan sel yang terjadi melebihi perbaikannya. Penimbunan kolagen terus berlanjut, ukuran hati mengecil, berbenjol-benjol (nodular) menjadi keras, terbentuk sirosis alkoholik.
Mekanisme cedera hati alkoholik masih belum pasti. Diperkirakan mekanismenya sebagai berikut: 1). Hipoksia sentrilobular, metabolisme asetaldehid etanol meningkatkan konsumsi oksigen lobular, terjadi hipoksemia relatif dan cedera sel di daerah yang jauh dari aljran darah yang teroksigenasi (misal daerah perisentral); 2). Infiltrasi/aktivitas neutrofil, terjadi pelepasan chemoattractants neutrofil oleh hepatosit yang memetabolisme etanol. Cedera jaringan dapat terjadi dari neutrofil dan hepatosit yang melepaskan intermediet oksigen reaktif, proteasa, dan sitokin; 3). Formasi acetaldehyde-protein adducts berperan sebagai neoantigen, dan menghasilkan limfosit yang tersensitisasi serta antibodi spesifik yang menyerang hepatosit pembawa antigen ini; 4). Pembentukan radikal bebas oleh jalur alternatif dari metabolisme etanol, disebut sistem yang mengoksidasi enzim mikrosomal.


Hepatologi (HALAMAN 444)

Pangenesis fibrosis alkoholik meliputi banyak sitokin, antara lain faktor nekrosis tumor, interleukin-1, PDGF, dan TGF-beta. Asetaldehid kemungkinan mengaktifasi sel stelata tetapi bukan suatu faktor patogenik .utama pada fibrosis alkoholik.
Sirosis Hati Pasca Nekrosis
Gambaran patologi hati biasanya mengkerut, berbentuk tidak teratur, dan terdiri dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang padat dan lebar. Gambaran mikroskopik konsisten dengan gambaran makroskopik. Ukuran nodulus sangat bervariasi, dengan sejumlah besar jaringan ikat memisahkan pulau parenkim regenerasi yang susunannya tidak teratur.
Patogenesis sirosis hati menurut penelitian terakhir, memperlihatkan adanya peranan sel stelata {stellate celt). Dalam keadaan normal sel stelata mempunyai peran dalam keseimbangan pembentukan matriks ekstraselular dan proses degradasi. Pembentukan fibrosis menunjukkan perubahan proses keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus menerus (misal: hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik), maka sel stelata akan menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus maka fibrosis akan berjalan terus di dalam sel stelata, dan jaringan hati yang normal akan diganti oleh jaringan ikat.
Sirosis hati yang disebabkan oleh etiologi lain frekuensinya sangat kecil sehingga tidak dibicarakan di sini.
MANIFESTASI KLINIS Gejala-gejala Sirosis
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwama seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.
Temuan Klinis
Temuan klinis sirosis meliputi, spider angioma-spiderangiomata (atau spider te/angiektasi), suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya tidak diketahui, ada anggapan dikaitkan dengan peningkatan rasio estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan selama hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula pada orang sehat, walau umumnya ukuran lesi kecil.
Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar tclapak tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon estrogen. Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artritis reumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan hematologi.
Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan akibat hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom nefrotik.
Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier. Osteoartropati hipertrofi suatu periostitis proliferatif kronik, menimbulkan nyeri.
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pada pasien diabetes melifus, distrofi refleks simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol.
Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan juga hilangnya rambut dada dan aksila pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah feminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga dikira fase menopause.
Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertilf Tanda ini menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis.
Hepatomegali-ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular.
Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yangi penyebabnya nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta.
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta.
Fetor hepatikum, bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi dimetil sulfid akibat pintasan porto sistemik yang berat.
Ikterus-pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh.
,4sterai*?-bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepak-ngepak dari tangan, dorsofleksi tangan.
Tanda-tanda lain yang menyertai di antaranya: Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar. Batu pada vesika felea akibat hemolisis Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini akibat sekunder infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.
Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini akibat resistensi insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh sel betapankreas.
Gambaran Laboratoris
Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada waktu seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk evaluasi keluhan spesifik. Tes fungsi hati meliputi aminotrans­ferase, alkali
fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin, albu­min, dan waktu protrombin.
Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asetat (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tak begitu tinggi. AST lebih meningkat daripada ALT, namun bila transaminase normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis.
Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal f atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan sirosis bilier primer.
Gamma-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik, karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatik, juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit. I
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, |
tapi bisa meningkat pada sirosis yang lanjut
Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun\
sesuai dengan perburukan sirosis. \
Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder f dari pintasan, antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, j selanjutnya menginduksi produksi imunoglobulin.
Waktu protrombin mencerminkan derajat/tingkatan disfungsi sintesis hati, sehingga pada sirosis memanjang
Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan |
dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas
Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam, I anemia normokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom I makrositer. Anemia dengan trombositopenia, lekopenia, dan netropenia akibat splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk f

HALAMAN 445

konfirmasi adanya hipertcnsi porta. Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin digunakan karena pemeriksaannya non invasif dan mudah digunakan, namun sensitifitasnya kurang. Pemcriksaan hati yang bisa dinilai dengan USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mcngccil dan nodular, penmikaan irregular, dan ada peningkatan ckogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga bisa untuk melihat asitcs, splenomegali, trombosis vena porta dan pelebaran vena porta, serta skrining adanya karsinoma hati pada pasien sirosis.
Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan USG, tidak rutin digunakan karena biayanya relatif mahal.
Magnetic resonance imaging, peranannya tidak jelas dalam mendiagnosis sirosis selain mahal biayanya.

DIAGNOSIS
Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan diagnosis sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia/serologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisis, laboratorium, dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi hati atau peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini.
Pada stadium dekompensata diagnosis kadangkala tidak sulit karena gejaia dan tanda-tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi.

KOMPLIKASI
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya.
Komplikasi yang sering dijumpai antara lain peritonitis bakterial spontan, yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejaia, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.
Padasindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi glomerulus.
Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esofagus. Duapuluh sampai 40 % pasien sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan. Angka kematiannya sangat tinggi, scbanyak duapertiganya akan meninggal dalam waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk' menanggulangi varises ini dengan beberapa cara.
Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disflingsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma.
Pada sindrom hepatopulmonal terdapat hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal.

PENGOBATAN
Etioiotoi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik diberikan diet yang mengandung protein lg/kgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompcnsata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi, di antaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati dihentikan pcnggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat kolagenik.
Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau imunosupresif.
Pada hemokromatosis flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.

Pada penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan mencegah terjadinya sirosis.
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu tahun. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan, namun temyata juga banyak yang kambuh.
Pada hepatitis C kronik; kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/ hari selama 6 bulan.
Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang, menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi dari sel stelata bisa merupakan salah satu pilihan. Interferon mempunyai aktifitas antifibrotik yang dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek anti peradangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum terbukti dalam penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin Ajuga dicobakan sebagai anti fibrosis. Selain itu, obat-obatan herbal juga sedang dalam penelitian.
Pengobatan Sirosis Dekompensata
Asites; tirah baring dan diawali diet rcndah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol /hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya hi la tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan hi la asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
Ensefalopati Hepatik; laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan amonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil anionia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang.
Varises Esofagus; sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat beta (propranolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.
Peritonitis bakterial spontan; diberikan antibiotika seperti sefotaksim intravena, amoksilin, atau aminoglikosida.
Sindrom hepatorenal; mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam dan air.
Transplantasi hati; terapi definitif pada pasien sirosis dekompensata. Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.

PROGNOSIS
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai.
Klasifikasi Child-Pugh (Tabel 2), juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi, variabeinya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites dan ensefalopati juga status nutrisi. Klasifikasi ini terdiri dari Child A, B, dan C. Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B, dan C berturut-turut 100, SO, dan 45 %.
Penilaian prognosis yang terbaru adalah Model for End Stage Liver Disease (MELD) digunakan untuk pasien sirosis yang akan dilakukan transplantasi hati.
Derajat kerusakan
Minimal
Sedang
Berat

BitStqm(tntutnol/dl) >. <35-(f35-50 ^< >50
Alb.scrum (gi/dl) . . >3l. 30-35 <30
Asites . nihil \ mudah dikontrol sukar
PSE/ensefalopati , nihil .1. ' minimal berat/koma
. Nutrisi sempurna " .; baifc kurang/kurus

REFERENSI
Bonis PAL, Chopra S. Patient information cirrhosis. Up to date.
In: Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004. Christensen E. Prognostic models including the child-pugh, MELD and
Mayo risk scores - where are we and where should we go ? J Hepatol.
2004;41: 344-50.
Chung RT, Podolsky DK. Cirrhosis and its complications. In: D Kasper, AS Fauci, D Lougo, E Braunwald, SL Hauser, L Jameson, editors. Harrison's principles of internal medicine. 16th edition. New York: Mc Graw-Hill; 2004. p. 1858-9.
Friedman SL. Alcoholic liver disease, cirrhosis and its major sequelae. In: Goldman, editor. Cecil textbook of medicine. WB Saunders Company; 2000. p. 803-415.
Friedman LS. Cirrhosis. In: LM Tierney, SJ McPhce, MA Papadakis, edi­tors. Current medical diagnosis & treatment. 43,h edition. Lange Medi­cal Boooks/McGraw Hill; 2004. p. 640-51.
Goldberd E, Chopra S. Overview of the complications, prognosis and man­agement of cirrhosis. In: Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004.
Goldberd E, Chopra S. Diagnostic approach to the patient with cirrhosis I. In: Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004.
Podolsky K, Isselbacher KJ. Penyakit hati yang berkaitan dengan alkohol dan Sirosis. In: AH Asdie, editor. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi 13. 1995. p. 1665-78.
Sherlock S, Dooley J. Hepatic cirrhosis. In: S Sherlock, J Dooley, editors. Diseases of the liver and biliary system. 9th edition. Oxford: Oxford Blackwell Scientific Publications. 1993. p. 357-69.
Sulaiman A. Harapan baru dalam penatalaksanaan sirosis hati. Acta Med Indones. 2003;35:Suppl 1:S115-S8.
Tarigan P. Sirosis hati. In: HM Sjaifoellah Noer, Sarwono Waspadji, A Muin Rachman, LA Lesmana, Djoko Widodo, Harry Isbagio, Idrus Alwi, edi­tors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta: PB. PAPDI; 1996. p. 271-9.