Selasa, 29 Juni 2010

EDISI KEEMPAT- JILID I





BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM

Editor

Aru W. Sudoyo
Konsultan Hematologi-Onkologi Medik Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalani FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Bambang Setiyohadi
Konsultan Reumatologi Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Idrus Alwi
Konsultan Kardiologi -Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Marcellus Simadibrata K.
Konsultan Gastroenterologi Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM, Jakarta .

Siti Setiati
Konsultan Geriatri Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

PUSAT PENERBITAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
FKUI/RSUPN-CM, Jakarta

Editor: Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati Editor Topik: Aida Lydia, Ari Fahrial Syam, Arif Mansjoer, Ceva W. Pitoyo, E. Mudjaddid, Evy Yunihastuti, Hamzah Shatri, Ika Prasetya Wijaya, Ikhwan Rinaldi, Irsan Hasan, Ivo Novita S., Khie Chen, Kuntjoro Harimurti, Nafrialdi, Nanang Sukmana, Nina Kemala Sari, Parlindungan Siregar, Purwita W. Laksmi, Reno Gustaviani R, Ryan Ranitya, Sally A.Nasution

Redaktur Pelaksana: Nia Kurniasih
Setting dan Layout: Edy Supardi, Nia Kurniasih, Sudiariandini S., Zikri Anwar, Hari Sugianto, Sandi Saputra Design Cover: Hari Sugianto, Edy Supardi


21 cm x 28 cm 23 + 550 halaman
ISBN: 979-9455-50-2 (JilidLengkap) ISBN : 979-9455-51 -0 (Jilid I)

©2006 Pusat Penerbitan Deptfrtemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jl. Diponegoro No. 71 Jakarta Pusat 10430
Telp.: 021-3193775 Faks.: 021-31903776
Email: pipfkui@yahoo.com Website: www.internafkui.or.id




Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Sanksi Pelanggaran Pasal 44
Undang -undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 6 Tahun 1987 Tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Nomor 7 Tahun 1987.
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000.00,- (seratus juta rupiah)
barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat(l), dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000.00,- (lima puluh juta rupiah)





Diterbitkan pertama kali oleh:
Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, Juni 2006

Cetakan kedua dengan Revisi Mei 2007


SIROSIS HATI ( HALAMAN 443 )


PENDAHULUAN
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenerate. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati.
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis. Hal ini hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati.

KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI
Sirosis secara konvensional diklasifikasikan sebagai makronodular (besar nodul lebih dari 3 mm) atau mikronodular (besar nodul kurang dari 3 mm) atau campuran mikro dan makronodular. Selain itu juga diklasifikasikan berdasarkan etiologi, fungsional namun hal ini juga kurang memuaskan.
Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis menjadi: 1). alkoholik, 2) kriptogenik dan post hepatitis (pasca nekrosis), 3) biliaris, 4) kardiak, dan 5) metabolik, keturunan, dan terkait obat.
Etiologi dari sirosis hati disajikan dalam tabel 1. Di negara barat yang tersering akibat alkoholik sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepa­tite C 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C {non B-non Q. Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya.
EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 40 % pasien sirosis asimtomatis. Pada keadaan ini sirosis ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsi. Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus kronik. Hasil penelitian lain menyebutkan perlemakan hati akan mengakibatkan steatohepatitis nonalkoholik (NASH, prevalensi 4%) dan berakhir dengan sirosis hati dengan prevalensi 0,3 %. Prevalensi sirosis hati akibat steatohepatitis alkoholik dilaporkan 0,3 % juga. Di Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hati berkisar 4,1 % dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004) ( tidak dipublikasi). Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4 %) pasien dari seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam.

PATOLOGI DAN PATOGENESIS
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai oleh pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan sel-sel hati yang uniform, dan sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadang-kadang disebut sirosis mikronodular. Sirosis mikronodular dapat pula diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi hati utama akibat induksi alkohol adalah 1). Perlemakan hati alkoholik, 2). Hepatitis alkoholik, dan 3). Sirosis alkoholik.
i'TabeVfc Sebab^ebab Sirosis o*n/atau Penyakit Ml Kronik '
Penyakit Infeksi
Bruselosis Ekinokokus Skistosomiasis Toksoplasmosis
Hepatitis virus (hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, sitomegalovirus)' Penyakit Keturunan dan Metabolik
Defisiensi arantitripsin Sindrom Fanconi Galaktosemia Penyakit Gaucher Penyakit simpanan glikogen Hemokromatosis Intoleransi fluktosa herediter Tirosinemia herediter Penyakit Wilson Obat dan Toksin
Alkohol Amiodaron Arsenik Obstruksi bilier
Penyakit perlemakan hati non alkoholik Sirosis bilier primer Kolangitis sklerosis primer Penyebab Lain atau Tidak Terbukti
Penyakit usus inflamasi kronik Fibrosis kistik Pintas jejunoileal Sarkoidosis

Perlemakan Hati Alkoholik
Steatosis atau perlemakan hati, hepatosit teregang oleh vakuola lunak dalam sitoplasma berbentuk makrovesikel yang mendorong inti hepatosit ke membran sel.
Hepatitis Alkoholik
Fibrosis perivenular berlanjut menjadi sirosis panlobular akibat masukan alkohol dan destruksi hepatosit yang berkepanjangan. Fibrosis yang terjadi dapat berkontraksi di tempat cedera dan merangsang pembentukan kolagen. Di daerah periportal dan perisentral timbul septa jaringan ikat seperti jaring yang akhirnya menghubungkan triad portal dengan vena sentralis. Jalinan jaringan ikat halus ini mengelilingi massa kecil sel hati yang masih ada yang keinudian mengalami regenerasi dan membentuk nodulus. Namun demikian kerusakan sel yang terjadi melebihi perbaikannya. Penimbunan kolagen terus berlanjut, ukuran hati mengecil, berbenjol-benjol (nodular) menjadi keras, terbentuk sirosis alkoholik.
Mekanisme cedera hati alkoholik masih belum pasti. Diperkirakan mekanismenya sebagai berikut: 1). Hipoksia sentrilobular, metabolisme asetaldehid etanol meningkatkan konsumsi oksigen lobular, terjadi hipoksemia relatif dan cedera sel di daerah yang jauh dari aljran darah yang teroksigenasi (misal daerah perisentral); 2). Infiltrasi/aktivitas neutrofil, terjadi pelepasan chemoattractants neutrofil oleh hepatosit yang memetabolisme etanol. Cedera jaringan dapat terjadi dari neutrofil dan hepatosit yang melepaskan intermediet oksigen reaktif, proteasa, dan sitokin; 3). Formasi acetaldehyde-protein adducts berperan sebagai neoantigen, dan menghasilkan limfosit yang tersensitisasi serta antibodi spesifik yang menyerang hepatosit pembawa antigen ini; 4). Pembentukan radikal bebas oleh jalur alternatif dari metabolisme etanol, disebut sistem yang mengoksidasi enzim mikrosomal.


Hepatologi (HALAMAN 444)

Pangenesis fibrosis alkoholik meliputi banyak sitokin, antara lain faktor nekrosis tumor, interleukin-1, PDGF, dan TGF-beta. Asetaldehid kemungkinan mengaktifasi sel stelata tetapi bukan suatu faktor patogenik .utama pada fibrosis alkoholik.
Sirosis Hati Pasca Nekrosis
Gambaran patologi hati biasanya mengkerut, berbentuk tidak teratur, dan terdiri dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang padat dan lebar. Gambaran mikroskopik konsisten dengan gambaran makroskopik. Ukuran nodulus sangat bervariasi, dengan sejumlah besar jaringan ikat memisahkan pulau parenkim regenerasi yang susunannya tidak teratur.
Patogenesis sirosis hati menurut penelitian terakhir, memperlihatkan adanya peranan sel stelata {stellate celt). Dalam keadaan normal sel stelata mempunyai peran dalam keseimbangan pembentukan matriks ekstraselular dan proses degradasi. Pembentukan fibrosis menunjukkan perubahan proses keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus menerus (misal: hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik), maka sel stelata akan menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus maka fibrosis akan berjalan terus di dalam sel stelata, dan jaringan hati yang normal akan diganti oleh jaringan ikat.
Sirosis hati yang disebabkan oleh etiologi lain frekuensinya sangat kecil sehingga tidak dibicarakan di sini.
MANIFESTASI KLINIS Gejala-gejala Sirosis
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwama seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.
Temuan Klinis
Temuan klinis sirosis meliputi, spider angioma-spiderangiomata (atau spider te/angiektasi), suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya tidak diketahui, ada anggapan dikaitkan dengan peningkatan rasio estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan selama hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula pada orang sehat, walau umumnya ukuran lesi kecil.
Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar tclapak tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon estrogen. Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artritis reumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan hematologi.
Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan akibat hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom nefrotik.
Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier. Osteoartropati hipertrofi suatu periostitis proliferatif kronik, menimbulkan nyeri.
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pada pasien diabetes melifus, distrofi refleks simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol.
Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan juga hilangnya rambut dada dan aksila pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah feminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga dikira fase menopause.
Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertilf Tanda ini menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis.
Hepatomegali-ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular.
Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yangi penyebabnya nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta.
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta.
Fetor hepatikum, bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi dimetil sulfid akibat pintasan porto sistemik yang berat.
Ikterus-pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh.
,4sterai*?-bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepak-ngepak dari tangan, dorsofleksi tangan.
Tanda-tanda lain yang menyertai di antaranya: Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar. Batu pada vesika felea akibat hemolisis Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini akibat sekunder infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.
Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini akibat resistensi insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh sel betapankreas.
Gambaran Laboratoris
Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada waktu seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk evaluasi keluhan spesifik. Tes fungsi hati meliputi aminotrans­ferase, alkali
fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin, albu­min, dan waktu protrombin.
Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asetat (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tak begitu tinggi. AST lebih meningkat daripada ALT, namun bila transaminase normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis.
Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal f atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan sirosis bilier primer.
Gamma-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik, karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatik, juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit. I
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, |
tapi bisa meningkat pada sirosis yang lanjut
Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun\
sesuai dengan perburukan sirosis. \
Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder f dari pintasan, antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, j selanjutnya menginduksi produksi imunoglobulin.
Waktu protrombin mencerminkan derajat/tingkatan disfungsi sintesis hati, sehingga pada sirosis memanjang
Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan |
dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas
Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam, I anemia normokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom I makrositer. Anemia dengan trombositopenia, lekopenia, dan netropenia akibat splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk f

HALAMAN 445

konfirmasi adanya hipertcnsi porta. Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin digunakan karena pemeriksaannya non invasif dan mudah digunakan, namun sensitifitasnya kurang. Pemcriksaan hati yang bisa dinilai dengan USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mcngccil dan nodular, penmikaan irregular, dan ada peningkatan ckogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga bisa untuk melihat asitcs, splenomegali, trombosis vena porta dan pelebaran vena porta, serta skrining adanya karsinoma hati pada pasien sirosis.
Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan USG, tidak rutin digunakan karena biayanya relatif mahal.
Magnetic resonance imaging, peranannya tidak jelas dalam mendiagnosis sirosis selain mahal biayanya.

DIAGNOSIS
Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan diagnosis sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia/serologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisis, laboratorium, dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi hati atau peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini.
Pada stadium dekompensata diagnosis kadangkala tidak sulit karena gejaia dan tanda-tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi.

KOMPLIKASI
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya.
Komplikasi yang sering dijumpai antara lain peritonitis bakterial spontan, yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejaia, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.
Padasindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi glomerulus.
Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esofagus. Duapuluh sampai 40 % pasien sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan. Angka kematiannya sangat tinggi, scbanyak duapertiganya akan meninggal dalam waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk' menanggulangi varises ini dengan beberapa cara.
Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disflingsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma.
Pada sindrom hepatopulmonal terdapat hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal.

PENGOBATAN
Etioiotoi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik diberikan diet yang mengandung protein lg/kgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompcnsata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi, di antaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati dihentikan pcnggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat kolagenik.
Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau imunosupresif.
Pada hemokromatosis flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.

Pada penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan mencegah terjadinya sirosis.
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu tahun. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan, namun temyata juga banyak yang kambuh.
Pada hepatitis C kronik; kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/ hari selama 6 bulan.
Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang, menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi dari sel stelata bisa merupakan salah satu pilihan. Interferon mempunyai aktifitas antifibrotik yang dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek anti peradangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum terbukti dalam penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin Ajuga dicobakan sebagai anti fibrosis. Selain itu, obat-obatan herbal juga sedang dalam penelitian.
Pengobatan Sirosis Dekompensata
Asites; tirah baring dan diawali diet rcndah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol /hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya hi la tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan hi la asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
Ensefalopati Hepatik; laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan amonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil anionia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang.
Varises Esofagus; sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat beta (propranolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.
Peritonitis bakterial spontan; diberikan antibiotika seperti sefotaksim intravena, amoksilin, atau aminoglikosida.
Sindrom hepatorenal; mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam dan air.
Transplantasi hati; terapi definitif pada pasien sirosis dekompensata. Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.

PROGNOSIS
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai.
Klasifikasi Child-Pugh (Tabel 2), juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi, variabeinya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites dan ensefalopati juga status nutrisi. Klasifikasi ini terdiri dari Child A, B, dan C. Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B, dan C berturut-turut 100, SO, dan 45 %.
Penilaian prognosis yang terbaru adalah Model for End Stage Liver Disease (MELD) digunakan untuk pasien sirosis yang akan dilakukan transplantasi hati.
Derajat kerusakan
Minimal
Sedang
Berat

BitStqm(tntutnol/dl) >. <35-(f35-50 ^< >50
Alb.scrum (gi/dl) . . >3l. 30-35 <30
Asites . nihil \ mudah dikontrol sukar
PSE/ensefalopati , nihil .1. ' minimal berat/koma
. Nutrisi sempurna " .; baifc kurang/kurus

REFERENSI
Bonis PAL, Chopra S. Patient information cirrhosis. Up to date.
In: Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004. Christensen E. Prognostic models including the child-pugh, MELD and
Mayo risk scores - where are we and where should we go ? J Hepatol.
2004;41: 344-50.
Chung RT, Podolsky DK. Cirrhosis and its complications. In: D Kasper, AS Fauci, D Lougo, E Braunwald, SL Hauser, L Jameson, editors. Harrison's principles of internal medicine. 16th edition. New York: Mc Graw-Hill; 2004. p. 1858-9.
Friedman SL. Alcoholic liver disease, cirrhosis and its major sequelae. In: Goldman, editor. Cecil textbook of medicine. WB Saunders Company; 2000. p. 803-415.
Friedman LS. Cirrhosis. In: LM Tierney, SJ McPhce, MA Papadakis, edi­tors. Current medical diagnosis & treatment. 43,h edition. Lange Medi­cal Boooks/McGraw Hill; 2004. p. 640-51.
Goldberd E, Chopra S. Overview of the complications, prognosis and man­agement of cirrhosis. In: Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004.
Goldberd E, Chopra S. Diagnostic approach to the patient with cirrhosis I. In: Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004.
Podolsky K, Isselbacher KJ. Penyakit hati yang berkaitan dengan alkohol dan Sirosis. In: AH Asdie, editor. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi 13. 1995. p. 1665-78.
Sherlock S, Dooley J. Hepatic cirrhosis. In: S Sherlock, J Dooley, editors. Diseases of the liver and biliary system. 9th edition. Oxford: Oxford Blackwell Scientific Publications. 1993. p. 357-69.
Sulaiman A. Harapan baru dalam penatalaksanaan sirosis hati. Acta Med Indones. 2003;35:Suppl 1:S115-S8.
Tarigan P. Sirosis hati. In: HM Sjaifoellah Noer, Sarwono Waspadji, A Muin Rachman, LA Lesmana, Djoko Widodo, Harry Isbagio, Idrus Alwi, edi­tors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta: PB. PAPDI; 1996. p. 271-9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar